Allah سبحانه وتعالى telah memerintahkan kepada kita semua agar selalu mencari rezeki dari sumber yang halal. Firman-Nya: “Maka makanlah yang baik dari rezki yang telah diberikan oleh Allah kepadamu, dan syukurilah ni’mat Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah-Nya.” (An-Nahl: 114)
Demikian pula di dalam banyak hadits, Nabi menganjurkan kepada kita agar bekerja dan berusaha mencari rezeki dengan cara yang halal. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut:
عَنْ جَدِّهِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ ، قَالَ : قِيلَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ.
Dari Rafi’ bin Khadij رضي الله عنه, ia berkata: Ada seseorang bertanya, “Penghasilan apakah yang paling baik, Wahai Rasulullah?” Beliau jawab: “Penghasilan seseorang dari jerih payah tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur.” [HR. Ahmad di dalam Al-Musnad no.16628]
Yang dimaksud dengan jual beli yang mabrur ialah jual beli yang benar menurut syariat, diterima dan diberi pahala oleh Allah, dan tidak mengandung unsur menipu atau khianat. (Faidhul Qadir, Al-Munawi II/47).
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,
يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ ، لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ
“Akan datang suatu masa kepada manusia, yang seseorang tidaklah peduli terhadap (harta) yang dia ambil, apakah dari (sumber) yang halal atau dari yang haram.”(HR Buhory, 2059)
Keadaan ketika mengambil Modal Haram:
1. Jika ada seseorang yang terlanjur berhubungan dengan modal bank yang riba atau harta yang haram lainnya, sementara dia belum tahu hukum sebelumnya, maka dalam keadaan demikian, ia wajib bertaubat kepada Allah dengan taubat nashuha, sedangkan harta atau modal haram yang telah ada di tangannya tersebut halal baginya, dan ia tidak berdosa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 275-276)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di رحمه الله berkata: “Allah Ta’ala tidak memerintahkan untuk mengembalikan harta benda yang telah diambil melalui transaksi riba setelah bertaubat. Akan tetapi Dia memerintahkan agar mengembalikan harta hasil riba yang belum diambilnya.” (Al-Fatawa As-Sa’diyah hlm. 303)
Syaikh Asy-Syinqithi رحمه الله berkata ketika menjelaskan ayat ini: “Dari ayat yang mulia ini dapat diambil pelajaran bahwa Allah tidak menyiksa seorang manusia disebabkan melakukan suatu perkara kecuali setelah Dia mengharamkannya. Dia telah menerangkan makna ini dalam banyak ayat Al-Qur’an. Allah berfirman tentang orang-orang (para sahabat, pen) yang pernah minum khamr dan memakan harta hasil perjudian sebelum turunnya ayat yang mengharamkannya: “Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman.” (Al-Ma-idah: 93)
2. Jika ketika ia memperoleh harta benda atau modal haram tersebut dalam keadaan telah mengetahui keharamannya dan mengerti bahwa muamalah dan perbuatan-perbuatan tersebut tidak diperbolehkan dalam agama Islam, maka dalam keadaan seperti ini, di samping berkewajiban bertaubat kepada Allah dengan taubat nashuha, ia juga berkewajiban untuk menyalurkan semua harta atau modal haram yang ada dalam kepemilikannya tersebut kepada fakir miskin atau untuk kepentingan-kepentingan umum bagi kaum muslimin.
Fatwa Al-Lajnah tentang modal usaha dari harta haram seperti jual khomr, narkoba lalu bertaubat sebagai berikut. “Apabila saat menghasilkan (harta) haram, (orang tersebut) mengetahui pengharaman hal itu, sesungguhnya (harta) itu tidak halal baginya (setelah) dia bertaubat. Bahkan, dia wajib berlepas diri dari (harta haram) tersebut dengan cara menginfakkan (harta haram) itu pada bentuk-bentuk dan amalan-amalan kebaikan.”(Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 14/32)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz رحمه الله pernah ditanya tentang seseorang yang meninggal yang di masa hidupnya dia bermuamalah dengan cara riba. Apakah ada cara yang syar’i bagi kerabatnya yang hidup dan ingin menebus dosanya yang meninggal? Beliau menjawab: “Disyariatkan bagi ahli warisnya agar menentukan secara teliti kadar yang masuk ke dalam hartanya dari hasil riba lalu dia sedekahkan atas nama yang meninggal dan mendoakannya dengan memohon ampunan baginya.” (Al-Fatawa Al-Islamiyyah, II/387, Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله telah menjelaskan mengenai perselisihan ulama dalam masalah modal usaha dari harta haram dan menyimpulkan pendapat terkuat. Beliau mengatakan, “Mengenai harta hasil curian yang dimanfaatkan oleh pencuri hingga mendapatkan hasil setelahnya, para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Apakah harta yang tumbuh itu kembali menjadi si pemilik pertama saja? Ataukah harta tersebut si pencuri dan pemilik menyedekahkannya?” … Terhadap harta semacam ini, ‘Umar bin Al Khottob pada awalnya menyikapinya dengan memerintahkan untuk menyerahkan seluruhnya pada Baitul Maal. Keuntungan sama sekali tidak boleh diambil oleh mereka yang memanfaatkan harta haram tadi. Lalu ‘Abdullah bin ‘Umar menyanggah ayahnya dengan mengatakan bahwa seandainya harta tersebut rusak, maka dhoman (ganti rugi) bagi yang memegangnya saat itu. Kalau punya kewajiban ganti rugi, lalu mengapa dalam masalah keuntungan tidak didapat? ‘Umar lantas terdiam. Kemudian sebagian sahabat mengatakan pada ‘Umar bahwa harta tersebut di bagi saja untuk mereka dan separuhnya lagi untuk (maslahat) kaum muslimin, yaitu setengah keuntungan pada mereka dengan setengahnya lagi pada kaum muslimin. ‘Umar pun memilih melaksanakan hal itu. Inilah yang jadi pilihan para fuqoha dalam masalah mudhorobah yang berasal dari ketetapan ‘Umar bin Al Khottob dan para sahabat pun sependapat dengannya, dan inilah bentuk keadilan. Keuntungan yang tumbuh dari harta haram tersebut tidaklah dikhususkan milik salah satunya. Begitu pula tidaklah harta tersebut disucikan seluruhnya melalui sedekah dengan seluruh harta tadi. Yang tepat, keuntungan tersebut milik mereka berdua, sebagaimana pembagian dalam akad mudhorobah.” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 323)
Ada yang bertanya kepada Komite Tetap Fatwa dan Riset Ilmiah di Arab Saudi tentang rumah yang ia bangun dari hasil meminjam ke bank. Ia sebelumnya tidak faham bahwa proses transaksi yang terjadi adalah proses Riba: Jawaban Komite Fatwa: Apabila kenyataannya sebagaimana yang Anda sebutkan maka hutang dengan bentuk seperti itu diharamkan karena itu adalah riba. Anda wajib untuk bertaubat dan beristighfar dari hal itu, Anda juga wajib untuk menyesali perbuatan tersebut dan berazam untuk tidak mengulangi perbuatan seperti itu. Adapun rumah yang telah Anda bangun maka janganlah merobohkannya, akan tetapi manfaatkanlah dengan meninggalinya atau yang lain. Semoga Allah mengampuni kelalaian Anda. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah juz 13, Riasah Idarah Al-Buhuts Al-Ilmiah Wa Al-Ifta’, Riyadh, Hal. 354 )
Harap diperhatikan, bahwa fatwa ini tidak berarti membolehkan berhutang dengan cara riba atau mempermudah urusan riba. Riba termasuk dalam dosa besar yang harus dihindari oleh kaum muslimin. Oleh karena itu Anda wajib untuk segera bertaubat dan segera melunasi hutang Anda kepada bank serta tidak lagi bermuamalah dengannya. Kemudian Anda mencari modal lain yang halal dan melanjutkan usaha yang selama ini Anda geluti (bila usaha tersebut masih prospek) , mengingat tidaklah mudah merintis usaha baru yang langsung menguntungkan, sedangkan Anda berkewajiban memberi nafkah kepada keluarga yang kebutuhannya selalu berjalan. Wallahu a‘lam.
Sumber: Artikel Rumaisyo.com; Artikel Ust Wasito, M.A, Kumpulan Fatwa Lajnah Daimah
Abu Yusuf